D
I
S
U
S
U
N
OLEH:
Chandra Hutabarat
NIM: 0902132053
TAHUN AJARAN 2010/2011
ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS RIAU
I. Pengantar: Pengertian dan Tujuan dari Merger, Akuisisi, & Konsolidasi
a. Merger adalah proses difusi dua perseroan dengan salah satu diantaranya tetap berdiri dengan nama perseroannya sementara yang lain lenyap dengan segala nama dan kekayaannya dimasukan dalam perseroan yang tetap berdiri tersebut.
Merger terbagi menjadi tiga, yaitu:
- Merger Horizontal adalah merger yang dilakukan oleh usaha sejenis (usahanya sama), misalnya merger antara dua perusahaan roti, perusahaan sepatu.
- Merger Vertikal adalah merger yang terjadi antara perusahaan-perusahaan yang saling berhubungan, misalnya dalam alur produksi yang berurutan. Contohnya: perusahaan pemintalan benang merger dengan perusahaan kain, perusahaan ban merger dengan perusahaan mobil.
- Merger Konglomerat adalah merger antara berbagai perusahaan yang menghasilkan berbagai produk yang berbeda-beda dan tidak ada kaitannya, misalnya perusahaan sepatu merger dengan perusahaan elektronik atau perusahaan mobil merger dengan perusahaan makanan. Tujuan utama konglomerat ialah untuk mencapai pertumbuhan Badan Usaha dengan cepat dan mendapatkan hasil yang lebih baik. Caranya ialah dengan saling bertukar saham antara kedua perusahaan yang disatukan.
Tujuan Merger antara lain:
1. Diversifikasi untuk pertumbuhan.
2. Diversifikasi menurut pasar atau pelanggan untuk mengimbangi faktor-faktor musiman, untuk menetralisir pasar produk yang menurun, dan sebagainya.
3. Perluasan,penyempurnaan,atau komplementasi lini produk.
4. Mendapatkan kemampuan riset dan pengembangan yang diperlukan.
5. Penciptaan atau perolehan lini produk baru.
6. Integrasi, sehingga mendapatkan penawaran yang cukup dari bahan-baku atau suku cadang yang kritis.
7. Perluasan pasar, termasuk pasar di luar negeri yang belum dijamah.
8. Memperbaiki manajemen.
9. Memperoleh fasilitas-fasilitas pengolahan atau riset yang baru.
Syarat Merger:
Hazel J.Johnson (1995) menyatakan, prasyarat yang harus dianalisis terlebih dahulu dari kedua Bank yang akan melakukan merger adalah:
1. Kondisi keuangan masing-masing Bank, merger sesama bank sehat atau karena collapse.
2. Kecukupan modal
3. Manajemen, baik sebelum atau sesudah merger
4. Apakah merger dapat memberi manfaat bagi pengguna jasa Bank tersebut.
Johnson lebih lanjut menyatakan setiap lembaga yang akan melakukan merger, pada umumnya mempunyai beberapa isu penting yang relevan untuk dianalisis sebelum merger dilakukan, antara lain:
1. Kapan waktu yang tepat untuk melakukan merger?
2. Bagaimana mengidentifikasi kecocokan pasangan (partner) untuk merger?
3. Bagaimana mengkomunikasikan dengan baik atas rencana merger ini kepada seluruh pihak yang berkepentingan agar niat merger mempunyai dampak yang positif di pasar?
4. Bagaimana melakukan cara, yang akan dilakukan untuk konsolidasi diantara Bank yang merger?
Kelebihan dan Kekurangan Merger:
Kelebihan Merger
Pengambilalihan melalui merger lebih sederhana dan lebih murah dibanding pengambilalihan yang lain (Harianto dan Sudomo, 2001, p.641)
Kekurangan Merger
Merger memiliki beberapa kekurangan, yaitu harus ada persetujuan dari para pemegang saham masing-masing perusahaan,sedangkan untuk mendapatkan persetujuan tersebut diperlukan waktu yang lama. (Harianto dan Sudomo, 2001, p.642).
b. Akuisisi
Istilah akuisisi sendiri berasal dari bahasa Inggris ”acquisition” yang dalam sering disebut juga dengan “take over” . Yang dimaksud dengan ”acquisition” atau ”take over” tersebut ialah pengambilalihan suatu kepentingan pengendalian perusahaan oleh suatu perusahaan lain (one company taking over controlling interest in another company) . Ungkapan take over sendiri terdiri dari ”friendly take over” (akuisisi bersahabat) atau akuisisi biasa, serta “hostile take over” (akuisisi tidak bersahabat) atau sering diistilahkan sebagai pencaplokan perusahaan . Pengambilalihan tersebut ditempuh dengan cara membeli hak suara dari perusahaan (the firm voting stock) atau dengan kata lain membeli saham dari perusahaan tersebut.
Salah satu aksi korporasi yang cukup sering dilakukan adalah pengambilalihan. Dalam istilah populernya adalah akuisisi, yaitu setiap perbuatan hukum untuk mengambil alih seluruh atau sebagian besar saham dan/atau aset dari perusahaan lain. Namun menurut pengertian UU No.40/2007 tentang Perseroan Terbatas hanya mengisyaratkan saham yang dapat diambil alih . Jadi, tidak termasuk akuisisi aset atau akuisisi bisnis lainnya. Hal ini juga sejalan dengan pasal 125 ayat (1) UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menerangkan bahwa pengambilalihan dilakukan dengan cara pengambilalihan saham yang telah dikeluarkan dan/atau akan dikeluarkan oleh Perseroan melalui Direksi Perseroan atau langsung dari pemegang saham. Hal ini menguatkan bahwa akuisisi itu adalah akuisisi saham (acquisition of stock) dan bukan akuisisi aset (acquisition of assets).
Dasar hukum akuisisi adalah jual beli, di mana perusahaan pengakuisisi akan menerima hak milik atas saham, dan sebaliknya perusahaan terakuisisi menerima penyerahan hak atas sejumlah uang harga saham tersebut. Apabila saham tersebut atas nama, maka penyerahannya dilakukan dengan cessie (hak tagih) sesuai pasal 6 KUH Perdata. Ketentuan yuridis secara umum mengenai pengambilalihan atau akuisisi yakni pasal 125 ayat (2) UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menjelaskan bahwa pengambilalihan dapat dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan. Jika pengambilalihan dilakukan oleh perseroan, maka keputusan akuisisi harus mendapat persetujuan dari RUPS . Namun jika pengambilalihan dilakukan melalui direksi, maka pihak yang akan mengakuisisi menyampaikan maksudnya kepada direksi perseroan yang hendak diakuisisi . Ketentuan lanjutan dalam pasal 125 ayat (7) UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menyebutkan bahwa pengambilalihan saham perseroan lain langsung dari pemegang saham tidak perlu didahului dengan membuat rancangan pengambilalihan ,tetapi dilakukan langsung melalui perundingan dan kesepakatan oleh pihak yang akan mengambil alih dengan pemegang saham dengan tetap memperhatikan anggaran dasar perseroan yang diambil alih.
Layaknya peraturan hukum yang lain, maka dalam peraturan mengenai akuisisi terdapat pula beberapa larangan terkait dengan akuisisi. Karena tidak mungkin aksi korporasi tersebut menimbulkan kerugian bagi pihak-pihak tertentu, dan sudah menjadi kewajiban bagi pemerintah untuk melindungi kepentingan semua pihak. Dalam UU. No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas terdapat larangan dalam akuisisi yang menyebutkan bahwa perbuatan hukum penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan wajib memperhatikan kepentingan pihak-pihak sebagai berikut :
a. Perseroan, pemegang saham minoritas, karyawan Perseroan;
b. Kreditor dan mitra usaha lainnya dari Perseroan; dan
c. Masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha.
Tujuan Akuisisi antara lain:
1. Membeli product lines untuk melengkapi product lines dari perusahaan yang akan mengambil alih.
2. Untuk memperoleh akses pada teknologi baru atau lebih baik pada perusahaan yang menjadi objek pengambilalihan.
3. Memperoleh pasar atau pelanggan baru.
4. Memperoleh hak pemasaran atau hak produksi yang belum dimiliki.
5. Memperoleh kepastian atas pemasokan bahan baku yang kualitasnya baik yang dipasok perusahaan objek akuisisi.
6. Melakukan investasi atas keuangan perusahaan yang berlebih dan tidak terpakai.
7. Mengurangi atau menghambat persaingan.
8. Mempertahankan kontinuitas bisnis.
Kelebihan dan Kekurangan Akuisisi:
Kelebihan Akuisisi
Keuntungan-keuntungan akuisisi saham dan akuisisi aset adalah sebagai berikut:
a. Akuisisi Saham tidak memerlukan rapat pemegang saham dan suara pemegang saham sehingga jika pemegang saham tidak menyukai tawaran Bidding firm, mereka dapat menahan sahamnya dan tidak menjual kepada pihak Bidding firm.
b. Dalam Akusisi Saham, perusahaan yang membeli dapat berurusan langsung dengan pemegang saham perusahaan yang dibeli dengan melakukan tender offer sehingga tidak diperlukan persetujuan manajemen perusahaan.
c. Karena tidak memerlukan persetujuan manajemen dan komisaris perusahaan, akuisisi saham dapat digunakan untuk pengambilalihan perusahaan yang tidak bersahabat (hostile takeover).
d. Akuisisi Aset memerlukan suara pemegang saham tetapi tidak memerlukan mayoritas suara pemegang saham seperti pada akuisisi saham sehingga tidak ada halangan bagi pemegang saham minoritas jika mereka tidak menyetujui akuisisi (Harianto dan Sudomo, 2001, p.643-644).
Kekurangan Akuisisi
Kerugian-kerugian akuisisi saham dan akuisisi aset sebagai berikut :
a. Jika cukup banyak pemegang saham minoritas yang tidak menyetujui pengambilalihan tersebut, maka akuisisi akan batal. Pada umumnya anggaran dasar perusahaan menentukan paling sedikit dua per tiga (sekitar 67%) suara setuju pada akuisisi agar akuisisi terjadi.
b. Apabila perusahaan mengambil alih seluruh saham yang dibeli maka terjadi merger.
c. Pada dasarnya pembelian setiap aset dalam akuisisi aset harus secara hukum dibalik nama sehingga menimbulkan biaya legal yang tinggi
c. Konsolidasi adalah situasi di mana perusahaan yang terpisah menjadi satu. Kadang-kadang digambarkan sebagai merger, meskipun secara teknis ini adalah dua situasi yang berbeda. Dalam merger, baru bisnis terbentuk ketika satu perusahaan menyerap yang lain, dalam konsolidasi, perusahaan bergabung pada istilah yang relatif sama untuk membentuk satu perusahaan baru. Namun, kedua istilah ini sering digunakan secara bergantian.
Konsolidasi dapat juga dikatakan menyatukan seluruh sumber daya, peluang dan kekuatan untuk memenangkan persaingan jangka panjang, Memenangkan persaingan berarti menjadi yang terbaik dalam melayani kebutuhan konsumen/klien saat ini dan dimasa datang. Konsolidasi dilakukan dengan mengevaluasi kondisi usaha saat ini, diteruskan dengan pengembangan strategi usaha jangka panjang, strategi tersebut dibuat lebih terperinci dalam bentuk perencanaan dengan sasaran bergerak ke jangka menengah dan panjang yang meliputi pengembangan sistem manajemen agar perencanaan dan implementasi bisa sejalan, memberikan perioritas pada pengembangan yang dilakukan secara terus menerus, pengembangan pasar dilakukan sistimatis dan efisiensi menjadi acuan prestasi.
Tujuan Konsolidasi antara lain:
Secara alamiah usaha yang dimulai dengan skala kecil perorangan mengalami fase-fase perkembangan mulai dari start up, bertahan hidup dan tumbuh. Pada saat perusahaan mencapai periode tumbuh maka perlu dilakukan konsolidasi dengan serius, jika konsolidasi dilakukan setengah hati maka perusahaan akan mengalami stagnasi atau malah mundur.
Fase perkembangan usaha ditandai mulai tahap perusahaan yang baru MULAI USAHA dimana perusahaan masih rugi, selanjutnya akan beranjak memasuki PERIODE BERTAHAN HIDUP. Periode ini adalah lanjutan masa belajar bagi perusahaan, kekurangan pengalaman dan jaringan bisnis yang belum tumbuh membuat manajemen sering membuat kesalahan, Periode ini ditandai oleh penjualan belum stabil, naik turun dengan cepat, pasar belum kuat, sales kecil, belum terarah jelas, motivasi mulai labil, sering kali kurang kreatif dan inovatif (produk/pasar), biasanya pengusaha cenderung tertutup, strategi pemasaran lemah atau bahkan tidak ada dan belum ada manajemen usaha (tidak merasa perlu) serta sumber modal yang terbatas mulai menipis. Setelah perusahaan cukup mengenal lingkungan bisnisnya, jaringan mulai terbentuk, kesalahan operasional mulai berkurang maka perusahaan akan memasuki PERIODE TUMBUH, dengan ciri-ciri penjualan meningkat tajam dengan cepat, sering menolak permintaan, pasar tidak mampu dipenuhi seluruhnya, kapasitas tidak memadai, umumnya “over confidence” (investasi tidak tepat), hanya sedikit yang peningkatan penjualannya disebabkan strategi pemasaran yang baik, manajemen produksi tidak mendukung (produk gagal/reject meningkat), manajemen usaha belum teratur, modal kerja tidak pernah cukup, muncul pesaing baru (biasanya harga lebih rendah).
Sampai pada satu titik tertentu perusahaan harus melakukan konsolidasi karena kondisi usahanya mulai mengalami kesulitan mempertahankan pertumbuhan penjualan, tingkat pertumbuhan pasar mulai lambat, persaingan yang makin ketat harga, kualitas, pesaing terus bertambah, marjin laba statis. Kondisi ini akan dialami jika strategi pengembangan usaha tidak ada, sasaran masih jangka pendek, umumnya hanya administrasi keuangan yang baik, pengembangan pasar dan produk dilakukan sporadis tidak sistimatis, penjualan tidak naik cenderung statis, produksi dibawah kapasitas bahkan akan cenderung surut jika konsolidasi tidak dilakukan sama sekali, penjualan menurun drastis, tidak mampu lagi bersaing dipasar, likuiditas makin sulit, kapasitas produksi akan terus menurun. Kondisi ini sering terjadi pada usaha kecil yang beranjak menjadi perusahaan menengah.
Permasalahan yang harus dipecahkan pada tahap awal konsolidasi adalah tujuan dan sasaran bisnis yang ingin anda capai dimasa datang atau posisi seperti apa bisnis anda lima atau sepuluh tahun mendatang. Permasalahan dalam menetapkan sasaran bisnis adalah :
1. Menarik garis antara sasaran yang ingin dicapai dimasa datang dengan kondisi usaha dan lingkungan usaha saat ini, garis tersebut adalah sasaran antara atau tahap-tahap pengerjaannya.
2. Memperkirakan kondisi lingkungan atau peluang dan tantangan dimasa datang sehingga sasaran yang ingin anda capai lebih realistis.
Tahap berikutnya menjalin program kerja dalam program konsolidasi bisnis yang terdiri dari :
Strategi jangka panjang 5 sd. 10 tahun yang terdiri dari visi dan misi:
Sharing pasar dan positioning
Sasaran Investasi/kapasitas operasional
Sasaran formasi dan keunggulan SDM
Sasaran pengembangan teknologi
Sasaran posisi keuangan
Jangka menengah 2 sd. 5 tahun
Rencana kedalaman produk
Rancangan jaringan distribusi
Rencana Investasi
Rencana pengembangan SDM
Rencana pengembangan teknologi
Proyeksi keuangan
Jangka pendek 0 sd. 2 tahun
Program investasi jangka pendek dan pengembangan produk
Program promosi, konsolidasi jaringan distribusi
Program peningkatan efisiensi dan efektifitas operasional
Program peningkatan kapasitas SDM
Rencana keuangan.
II. Alasan mengapa perusahaan melakukan Merger, Akuisisi, dan Konsolidasi adalah sebagai berikut:
a. Merger:
Pada umumnya tujuan dilakukannya merger adalah mendapatkan sinergi atau nilai tambah. Keputusan untuk merger harus menjadikan dua tambah dua sama dengan lima. Nilai tambah yang dimaksud adalah lebih bersifat jangka panjang dibanding nilai tambah yang bersifat sementara saja. Oleh karena itu, ada tidaknya sinergi suatu merger tidak bisa dilihat sesaat setelah merger itu terjadi, tetapi diperlukan waktu yang cukup panjang. Sinergi yang terjadi sebagai akibat dari penggabungan usaha bisa berupa turun naiknya skala ekonomis, maupun sinergi keuangan yang berupa kenaikan modal. Adapun beberapa alasan perusahaan melakukan penggabungan melalui merger, yaitu:
• Pertumbuhan atau diversifikasi
Perusahaan yang menginginkan pertumbuhan yang cepat, baik ukuran, pasar saham, maupun diversifikasi usaha dapat melakukan merger maupun akuisisi. Perusahaan tidak memiliki resiko adanya produk baru. Selain itu, jika melakukan ekspansi dengan merger dan akuisisi, maka perusahaan dapat mengurangi perusahaan pesaing atau mengurangi persaingan.
• Sinergi
Sinergi dapat tercapai ketika merger menghasilkan tingkat skala ekonomi (economies of scale). Tingkat skala ekonomi terjadi karena perpaduan biaya overhead meningkatkan pendapatan yang lebih besar daripada jumlah pendapatan perusahaan ketika tidak merger. Sinergi tampak jelas ketika perusahaan yang melakukan merger berada dalam bisnis yang sama karena fungsi dan tenaga kerja yang berlebihan dapat dihilangkan.
• Meningkatkan dana
Banyak perusahaan tidak dapat memperoleh dana untuk melakukan ekspansi internal, tetapi dapat memperoleh dana untuk melakukan ekspansi eksternal. Perusahaan tersebut menggabungkan diri dengan perusahaan yang memiliki likuiditas tinggi sehingga menyebabkan peningkatan daya pinjam perusahaan dan penurunan kewajiban keuangan. Hal ini memungkinkan meningkatnya dana dengan biaya rendah.
• Menambah ketrampilan manajemen atau teknologi
Beberapa perusahaan tidak dapat berkembang dengan baik karena tidak adanya efisiensi pada manajemennya atau kurangnya teknologi. Perusahaan yang tidak dapat mengefisiensikan manajemennya dan tidak dapat membayar untuk mengembangkan teknologinya, dapat menggabungkan diri dengan perusahaan yang memiliki manajemen atau teknologi yang ahli.
• Pertimbangan pajak
Perusahaan dapat membawa kerugian pajak sampai lebih 20 tahun ke depan atau sampai kerugian pajak dapat tertutupi. Perusahaan yang memiliki kerugian pajak dapat melakukan akuisisi dengan perusahaan yang menghasilkan laba untuk memanfaatkan kerugian pajak. Pada kasus ini perusahaan yang mengakuisisi akan menaikkan kombinasi pendapatan setelah pajak dengan mengurangkan pendapatan sebelum pajak dari perusahaan yang diakuisisi. Bagaimanapun merger tidak hanya dikarenakan keuntungan dari pajak, tetapi berdasarkan dari tujuan memaksimalisasi kesejahteraan pemilik.
• Meningkatkan likuiditas pemilik
Merger antar perusahaan memungkinkan perusahaan memiliki likuiditas yang lebih besar. Jika perusahaan lebih besar, maka pasar saham akan lebih luas dan saham lebih mudah diperoleh sehingga lebih likuid dibandingkan dengan perusahaan yang lebih kecil.
• Melindungi diri dari pengambilalihan
Hal ini terjadi ketika sebuah perusahaan menjadi incaran pengambilalihan yang tidak bersahabat. Usaha suatu perusahaan dalam mengambil alih perusahaan lain, dan membiayai pengambilalihannya dengan hutang. Oleh karena beban hutang ini, kewajiban perusahaan menjadi terlalu tinggi untuk ditanggung oleh perusahaan yang berminat (Gitman, 2003, p.714-716).
b. Akuisisi:
Penggabungan usaha dapat dilakukan dengan berbagai cara yang didasarkan pada pertimbangan hukum, perpajakan atau alasan lainnya. Di Indonesia didorong oleh semakin besarnya pasar modal, transaksi akuisisi semakin banyak dilakukan dan isu mengenai hal tersebut memang sudah hangat dibicarakan baik oleh para pengamat ekonomi, ilmuwan, maupun praktisi bisnis sejak tahun 1990 (Payamta dan Setiawan, 2004).
Bostman (1997:3) dalam Dewi (2004) mengungkapkan beberapa alasan mengapa penggabungan usaha dapat menghasilkan nilai:
1. Hilangnya biaya tetap yang merupakan duplikasi.
2. Kondisi kesinambungan dalam proses produksi.
3. Manajemen aktiva lebih efisien.
4. Nilai dapat ditingkatkan dengan memanfaatkan keringanan pajak yang belum digunakan.
Suta (2000) juga mengemukakan alasan-alasan perusahaan melakukan akuisisi yakni:
1. Keuntungan dari segi operasi (operating advantage), melalui kemungkinan pencapaian skala ekonomis.
2. Keuntungan dari segi finansial (financial advantage), yang didapat melalui manfaat di pasar uang ataupun pasar modal.
3. Kemungkinan untuk meningkatkan pertumbuhan usaha, yakni dengan mengakselerasi tingkat pertumbuhan dibandingkan dengan melalui ekspansi internal.
4. Diversifikasi atas usaha perusahaan, sehingga dengan demikian dapat menjaga agar perolehan tingkat keuntungan tidak mengalami fluktuasi.
Gurendrawati dan Sudibyo (1999) menjelaskan, bergabungnya perusahaan lebih dimungkinkan akan saling menunjang kegiatan usaha, sehingga keuntungan yang diperoleh jauh lebih besar dibandingkan jika melakukan sendiri-sendiri. Ada lima alasan dilakukannya akuisisi, yaitu:
1. Keinginan untuk mengurangi kompetisi antar perusahaan atau ingin memonopoli salah satu bidang usaha.
2. Untuk memanfaatkan kekuatan pasar yang belum sepenuhnya terbentuk.
3. Untuk mencapai skala ekonomi tertentu sehingga dapat menjadi lower cost producer.
4. Untuk memperoleh sumber baku yang lebih murah.
5. Untuk mendapatkan akses pasar/dana yang relatif murah karena kapasitas hutang yang semakin besar serta kemampuan baik dalam hal teknologi.
c. Konsolidasi
Untuk memutuskan bergabung dengan perusahaan lain bukan¬lah perkara yang mudah. Keputusan bergabung diambil karena suatu alasan yang sangat kuat. Jadi sebelum melakukan penggabungan badan usahanya, setiap perusahaan tentu mempunyai maksud ter¬tentu yang ingin dicapainva. Demikian pula jenis penggabungan yang akan dipilih juga dilakukan dengan berbagai macam pertimbangan. Terdapat beberapa alasan suatu bank atau suatu perusahaan untuk melakukan penggabungan secara Konsolidasi. Alasan yang biasa dipakai yaitu antara lain :
1. Masalah Kesehatan
Apabila bank sudah dinyatakan tidak sehat oleh Bank Indonesia setelah melalui beberapa perbaikan sebelumnya, maka sebaik¬nya bank tersebut melakukan penggabungan. Pilihan pengga¬bungan tentunya dengan bank yang sehat. Jika bank yang diga¬bungkan sama-sama dalam kondisi tidak sehat maka sebaiknya pilihan penggabungan adalah konsolidasi atau dapat pula diakui¬sisi oleh bank lain yang sehat.
2. Masalah Permodalan
Apabila modal suatu bank dirasakan kecil sehingga sulit untuk melakukan perluasan usaha, maka bank dapat bergabung dengan satu atau beberapa bank sehingga modal dimiliki menjadi be¬sar. Sebagai contoh Bank Maras hanva memiliki modal 5 milyar dengan 12 buah cabang bergabung dengan Bank Mangkol yang memiliki modal 10 milyar clan memiliki 20 cabang. Gabungan kedua bank tersebut sekarang memiliki modal 15 milyar dan 32 cabang. Dengan adanya penggabungan atau usaha peleburan otomatis lebih mudah untuk mengembangkan usahanya. Yang jelas setelah melakukan penggabungan modal dan cabang dari beberapa bank yang ikut bergabung akan bertambah besar.
3. Masalah Manajemen
Manajemen bank yang sembrawut atau kurang profesional se¬hingga, perusahaan terus merugi dan sulit untuk berkembang. Jenis bank inipun sebaiknya melakukan penggabungan usaha atau peleburan usaha dengan bank yang lebih profesional yang terkenal dengan kualitas manajemennya.
4. Teknologi dan Administrasi.
Bank yang menggunakan teknologi yang masih tradisional sa¬ngat menjadi masalah. Dalam perkembangan yang sedemikian cepat diperlukan teknologi yang canggih. Untuk memperoleh teknologi yang canggih diperlukan modal yang tidak sedikit. Ja¬Ian keluar yang dipilih adalah melakukan penggabungan dengan bank yang sudah memiliki teknologi yang canggih. Demikian pula bagi bank yang kurang teratur dan masih tradisional dalam hal administrasinya, sebaiknya bank melakukan penggabungan atau peleburan sehingga diharapkan administrasinya menjadi lebih baik.
5. Ingin Menguasai Pasar.
Tujuan ingin menguasai pasar tidak diumumkan secara jelas kepada pihak luar dan biasanya hanya diketahui oleh mereka yang hendak ikut bergabung. Dengan adanya penggabungan dari beberapa bank, maka jumlah cabang dan jumlah nasabah yang dimiliki bertambah. Tujuan ini juga dilakukan untuk meng¬hilangkan atau melawan pesaing yang ada.
III. Analisis terhadap perusahaan yang melakukan Merger, Akuisisi, dan Konsolidasi.
a. Perusahaan Merger:
Kebijakan pemerintah dalam merestrukturisasi BUMN-BUMN yang belum dan tidak sehat menjadi suatu pilihan agar BUMN tersebut dapat bersaing di dalam negeri dan di luar negeri. Salah satu restrukturisasi yang dilakukan adalah melakukan merger empat bank pemerintah menjadi satu Bank yaitu Bank Mandiri. Harapan pemerintah dengan adanya merger tersebut adalah Bank Mandiri dapat beroperasi sebagai intermediary financial yang mendukung kegiatan sektor riil di Indonesia.
Hasil studi menunjukkan bahwa pertama, kinerja empat Bank pemerintah yaitu Bank Exim, Bank BDN, Bank BBD, dan Bank Bapindo sebelum merger adalah tidak sehat. Kedua, pemerintah tidak memiliki pilihan lain dibandingkan melikuidasi bank-bank tersebut dengan cost yang sangat besar. Disamping itu, pemerintah menginjeksi bank hasil merger dengan obligasi pemerintah sebesar Rp178 trilyun. Ketiga, kinerja Bank Mandiri setelah merger selama tiga tahun justru tidak sehat, dimana 73% pendapatan yang diperoleh merupakan hasil bunga obligasi yang diberikan pemerintah. Keempat, dibandingkan dengan bank pemerintah lainnya, efisiensi Bank Mandiri berada diposisi kedua terakhir sebelum bank BTN.
Dalam kerangka penggabungan tersebut, akhir Februari 1998, pemerintah telah mengumumkan rencana restrukturisasi bank pemerintah dengan cara penggabungan. Adapun bank pemerintah yang akan digabung adalah: (1) Bank Ekspor Impor (Bank Exim), (2) Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo), (3) Bank Bumi Daya (BBD), dan (4) Bank Dagang Negara (BDN). Secara resmi tanggal 2 Oktober 1998 penggabungan keempat bank pemerintah telah berganti nama menjadi Bank Mandiri. Sedangkan penggabungan seluruh laporan keuangan efektif dilakukan pada akhir Juli 1999 sekaligus mengurangi jumlah kantor cabang dan sumber daya manusia yang ada di empat bank tersebut.
Dengan penggabungan keempat bank pemerintah tersebut diharapkan Bank Mandiri, pertama, industri perbankan Indonesia akan menjadi lebih kuat dan stabil apabila ditopang oleh bank-bank berskala besar. Kedua, intervensi pemerintah terhadap bank pemerintah semakin berkurang, apabila restrukturisasi perbankan berhasil maka besar kemungkinan Bank Mandri akan diprivatisasi dengan tujuan memperkuat struktur permodalan, meningkatkan likuiditas dan pengembangan usaha. Ketiga, kinerja keuangan Bank Mandiri diharapkan semakin baik dibandingkan sebelum penggabungan. Keempat, semakin sehatnya Bank Mandiri, maka sektor riil yang membutuhkan jasa keuangan bank tersebut akan semakin baik dan secara makro perekonomian nasional semakin membaik di masa yang akan datang.
Kinerja Keuangan Bank Mandiri Sebelum Merger
Untuk mengetahui kinerja keuangan empat bank BUMN sebelum merger dapat diketahui dari beberapa rasio yang dijelaskan pada tabel 1 dan tabel 2. Indikator-indikator yang digunakan antara lain Return on Assets (ROA), Return on Equity (ROE), Debt to Equity Ratio (DER), dan Debt to Total Assets Ratio (DTAR). Tabel 3 menunjukkan bahwa kinerja BBD dan BDN sangat memprihatinkan. Bank- bank ini tampaknya beroperasi tanpa modal, sebab utang perbankan baik utang jangka pendek maupun jangka panjang sudah beratus-ratus bahkan beribu-ribu kali lipat dibandingkan modalnya.
Tabel 1
Rasio Keuangan BBD & BDN Sebelum Merger
Tahun 1993 - 1998
No BUMN ROA ROE DER DTAR
1 BBD
1993 0.37% 10.27% 2703.13% 96.43%
1994 0.24% 4.56% 1766.70% 94.64%
1995 0.24% 4.58% 1841.32% 94.85%
1996 0.27% 4.22% 1471.97% 93.64%
1997 0.48% 5.00% 938.34% 90.37%
1998 -39.57% -127.81% -422.96% 130.96%
2 BDN
1993 0.62% 15.24% 2367.57% 95.95%
1994 0.59% 12.34% 1991.50% 95.22%
1995 0.58% 11.92% 1942.02% 95.10%
1996 0.72% 11.72% 1525.79% 93.85%
1997 0.75% 17.31% 2212.07% 95.67%
1998 -79.30% -106.59% -234.41% 174.40%
Ket:
ROA = Return on Assets ROE = Return on Equity
Demikian pula dengan utang Bank BBD & BDN, nilai utangnya pada tahun 1993 s.d. 1997 sudah mendekati nilai aktivanya (assets) dan pada pada puncaknya tahun 1998 saat krisis berlangsung nilai utang melebihi nilai aktivanya. Kondisi ini menggambarkan Bank BBD & Bank BDN merupakan Bank yang tidak sehat. Walaupun Bank BDN masih lebih baik dibandingkan Bank BBD.
Kinerja Keuangan Bank Exim dan Bank Bapindo
Apabila kita lihat pada tabel 2, kinerja keuangan yang dihasilkan oleh Bank Exim dan Bank Bapindo tidak jauh berbeda dengan Bank BBD dan Bank BDN yaitu Bank yang memiliki kinerja yang buruk (tidak sehat). Bank Bapindo merupakan bank yang paling tidak sehat dibandingkan dengan ketiga Bank BUMN. Hal ini dapat dilihat dari ROA dan ROE Bank Bapindo sejak tahun 1993-1996. Walaupun pada tahun 1997 terjadi peningkatan yang cukup besar pada ROE menjadi sebesar 14.64%.
Tabel 2
Rasio Keuangan Bank Exim & Bapindo Sebelum Merger
Tahun 1993 - 1998
No. BUMN ROA ROE DER DTAR
1 Bank Exim
1993 0.73% 13.74% 1786.22% 94.70%
1994 0.48% 7.50% 1456.83% 93.58%
1995 0.64% 10.97% 1607.94% 94.14%
1996 0.77% 13.06% 1588.55% 94.08%
1997 -12.62% -150.26% -1290.36% 108.40%
1998 -144.91% -158.91% -209.66% 191.19%
2 Bapindo
1993 0.02% 0.55% 2172.69% 95.60%
1994 0.03% 0.43% 1209.29% 92.36%
1995 0.04% 0.29% 727.55% 87.92%
1996 0.04% 0.33% 777.63% 88.61%
1997 0.62% 14.64% 2248.53% 95.74%
1998 -30.44% -106.76% -450.75% 128.51%
Ket:
ROA = Return on Assets
ROE = Return on Equity
DER = Debt to Equity Ratio
DTAR = Debt to Total Assets Ratio
Diantara keempat bank tersebut di atas yang dilihat dari kinerja keuangan ROA dan ROE, Bank Exim merupakan bank yang lebih baik kinerjanya dibandingkan ketiga bank lainnya sejak tahun 1993 - 1997. Sedangkan DER dan DTAR keempat bank tersebut hampir sama setiap tahunnya.
Analisis Merger Bank Mandiri
Analisis Kinerja dan Rasio Keuangan
Seperti yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, bahwa pemerintah telah mengumumkan rencana merger empat bank pemerintah pada bulan Februari 1998. Namun pelaksanaannya secara hukum baru terjadi pada bulan Oktober 1998 dengan nama Bank Mandiri. Dalam rangka penggabungan tersebut, oleh pemerintah Bank Mandiri mendapat suntikan dana untuk memperkuat struktur permodalan dan memenuhi rasio kecukupan modal (CAR) dalam bentuk obligasi pemerintah sebesar Rp178 trilyun. Setelah rekapitalisasi, Bank Mandiri dapat memenuhi posisi ekuitas dalam laporan keuangannya. Bulan Juli tahun 2000, Bank Mandiri telah mengembalikan sebesar Rp2,657 trilyun atas kelebihan jumlah rekapitalisasi (obligasi pemerintah) kepada pemerintah. Total obligasi pemerintah yang berada di Bank Mandiri pada tahun 2000 menjadi Rp175,343 trilyun.
Dalam perjalanannya, jumlah obligasi pemerintah tersebut telah berkurang menjadi Rp153,493 trilyun pada akhir Desember 2001. Penurunan tersebut disebabkan oleh penjualan obligasi rekapitalisasi pemerintah sebesar Rp15,787 trilyun untuk meningkatkan likuiditas dan penyesuaian harga pasar terhadap obligasi tersebut sebesar Rp37,686 trilyun yang direklasifikasikan ke portofolio tersedia untuk dijual. Sedangkan rugi yang belum direalisasi atas penyesuaian harga pasar dari obligasi tersedia untuk dijual sebesar Rp5,016 trilyun. Untuk melihat kinerja keuangan Bank Mandiri sejak 1998 - 2001 secara rinci dapat dilihat pada lampiran 1-3, sedangkan laporan keuangan secara singkat dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3
Laporan Keuangan Singkat Bank Mandiri
Tahun 1998 - 2001
(dalam milyar rupiah, kecuali disebutkan lain)
Tahun Pendapat-an Laba Setelah Pajak Total Aktiva Total Hutang Modal Dividen SDM (orang)
1998 19,852 (124,143) 100,532 202,468 (101,443) 212 26,597
1999 17,572 (67,796) 225,945 217,059 8,875 211 19,606
2000 30,885 1,181 253,355 239,099 14,262 1,011 18,016
2001 32,952 2,746 262,291 251,511 10,777 - 17,204
Sumber: Laporan Tahunan Bank Mandiri, 1999-2001, diolah.
Tabel 4 Pendapatan Bank Mandiri Tahun 1998 – 2001 (dalam milyar rupiah)
1998 1999 % 2000 % 2001 %
Pendapatan Bunga
Obligasi Pemerintah - 4,439 31% 20,286 75% 23,137 73%
Kredit yang diberikan 12,996 8,022 57% 5,143 19% 5,787 18%
Surat-surat berharga 1,835 - 0% 746 3% 1,710 5%
Penempatan pada bank lain 2,318 858 6% 304 1% 364 1%
Provisi dan komisi - - 0% 227 1% 297 1%
Lain-lain 1,126 799 6% 236 1% 201 1%
Jumlah Pendapatan Bunga 18,275 14,117 100% 26,942 100% 31,496 100%
Pend. Operasional Lainnya
Laba selisih kurs bersih - 2,357 68% 3,118 79% 260 18%
Provisi dan komisi lainnya 574 369 11% 306 8% 475 33%
Lain-lain 590 729 21% 518 13% 720 49%
Jumlah Pend. Operasional 1,164 3,455 100% 3,943 100% 1,456 100%
Total Pendapatan 19,439 17,572 30,885 32,952
Sumber: Laporan Tahunan Bank Mandiri, 1999-2001, diolah.
Analisis Efisiensi Bank Mandiri
Dengan menggunakan data envelopment analysis (DEA), tingkat efisiensi Bank Mandiri dapat diukur dan dibandingkan dengan bank BUMN lainnya yaitu: Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Tabungan Negara (BTN), Bank Ekspor Indonesia (BEI), dan Bank Negara Indonesia (BNI). Tingkat efisiensi tersebut dianalisis dari output yang diproxy dari tingkat perolehan laba setelah pajak, sedangkan input diproxy dari aktiva, modal, utang jangka pendek dan jangka panjang serta jumlah SDM. Tingkat efisiensi bank-bank BUMN pada tahun 2001 yang diukur dengan DEA ditampilkan dalam tabel 12.
Tabel 12 menunjukkan bahwa dari lima bank BUMN terdapat tiga bank yaitu BRI, BEI dan BNI yang memiliki tingkat efisiensi relatif yang lebih baik dibandingkan dengan Bank Mandiri dan BRI. Tingkat efisiensi relatif yang dimaksud disini tidak mencerminkan efisiensi yang sesungguhnya, akan tetapi hanyalah efisiensi relatif terhadap bank yang lain. Dengan demikian, bank yang memiliki efisiensi relatif yang lebih baik tidak selalu mencerminkan efisiensi yang sesungguhnya. Bisa jadi bank tersebut kenyataannya tidak efisien, namun bisa juga bank tersebut memang efisien.
Tabel 5 Tingkat Efisiensi Bank-bank BUMN
No. Bank Tingkat Efisiensi
1. Bank Mandiri 70,89
2. Bank BRI 100,00
3. Bank BTN 52,89
4. Bank BEI 100,00
5. Bank BNI 100,00
Sumber: Laporan Kinerja BUMN, 2001, diolah.
Tingkat efisiensi relatif ini tampaknya sejalan dengan kinerja keuangan bank BUMN. Kinerja keuangan bank-bank ini menunjukkan ROA Bank Mandiri masih di bawah BNI, BRI dan BEI. Begitu juga dengan rasio utang terhadap modal (DER) dan rasio utang terhadap aktiva (DTAR) yang dapat dilihat pada tabel 8.
Tabel 6 Rasio Keuangan Bank Mandiri Tahun 2001
BANK ROA ROE DER DTAR
Bank Mandiri 1,05% 25,48% 2.333,83% 95,89%
Bank BRI 2,08% 31,26% 1.404,98% 93,36%
Bank BTN 0,59% 21,68% 3.545,70% 97,26%
Bank BEI 2,36% 7,07% 197,62% 66,40%
Bank BNI 1,70% 40,99% 2.308,49% 95,82%
Sumber: Laporan Kinerja BUMN dan Laporan Tahunan Bank Mandiri, 2001, diolah.
Sebagai bank yang berorientasi pada product mix, Bank Mandiri tampaknya mengalami kesulitan melemparkan kreditnya. Buktinya, Bank Mandiri kini tengah gencar meluncurkan visa card dengan iming-iming hadiah yang menggiurkan. Sementara itu, bank yang mengambil spesialis kredit sektor properti, BTN kini sedang dihadapkan pada mandegnya pembangunan sektor properti. Banyak kita jumpai pembangunan gedung-gedung apartemen, mall, dan perumahan yang berhenti ditengah jalan sebagai akibat krisis ekonomi.
b. Perusahaan Akuisisi:
Setelah sukses menjadikan AQUA sebagai merek tunggal dengan volume penjualan tertinggi di dunia pada 2001, maka tantangan berikutnya adalah meraih penjualan 5 miliar liter per tahun pada 2005. Selama 1998 sampai 2000, Willy Sidharta melakukan banyak terobosan untuk melakukan change management. Selain membentuk AQUA LEADERS FORUM dan menyusun AQUA Core Values sekali lagi Willy Sidharta menetapkan VISI AQUA 2005 pada bulan Juli 1999 . Kali ini visi ditujukan untuk meraih angka penjualan 5 miliar liter pada tahun 2005. Pada tahun 2000, volume penjualan AQUA sudah melampaui EVIAN dan menjadi yang tertinggi dalam hal volume penjualan di lingkungan Grup Danone. Pada tahun 2001 AQUA berhasil meraih prestasi sebagai merek tunggal dengan volume penjualan tertinggi di dunia yakni sebesar 2,35 miliar liter dibandingkan pesaing terdekat ELEKTROPURA dari Meksiko dengan jumlah 1.9 miliar liter.
Willy juga aktif memberikan semangat kepada tim manjemen AQUA aqar tetap dapat memenangkan pasar. Resepnya menurut Willy ada lima. Pertama, produk AQUA harus ada di mana-mana (available). Kedua, konsumen mau membeli AQUA (acceptable). Ketiga, harga AQUA terjangkau konsumen (affordable). Keempat, AQUA mengerti kebutuhan konsumen (accessible) dan terakhir. AQUA secara proaktif menekan pasar (aggressive). Apa saja 3A dan 3P itu? A yang pertama adalah Available untuk meraih Pervasive Penetration. Maksudnya, bahwa produk tersebut harus dapatr ditemukan pada tempat dan waktu yang tepat. Oleh karena itu, produk harus ditempatkan pada fast moving outlet dan high image outlet sehingga dapat memenuhi kebutuhan konsumen kapan dan di mana pun. A yang kedua adalah Acceptable untuk meraih Preference. Jadi produk harus dapat menjadi “pilihan” konsumen (consumer choice) bukan sekadar “keinginan” konsumen saja. Syaratnya tentu saja produk itu harus benar dan memiliki positioning yang tepat pula. Sedangkan, A yang terakhir Affordable untuk meraih Price to value. Artinya, produk itu harus memiliki harga yang sesuai dengan nilai pengharapan yang ada di benak konsumen. Caranya dengan melakukan positioning, komunikasi dan pemberian nilai tambah melalui inovasi produk.
Adapun kunci suksesnya ditentukan faktor produksi, distribusi, pamasaran, SDM dan keuangan. Dalam hal produksi, produsen harus dapat menyediakan produk yang diinginkan konsumen melalui inovasi produk baru serta peningkatan kualitas yang memuaskan konsumen. Dalam hal distribusi produk harus dapat dijumpai di mana saja dan kapan saja. Sementara dalam hal pemasaran produk harus tampil atraktif agar menarik minat konsumen untuk membeli.Caranya melalui komunikasi dan positioning yang tepat serta penyediaan basis data yang lengkap. Sedangkan, di bidang sumber daya manusia maka harus dibangun tim kerja yang memiliki pengetahuan luas melalui rekrutmen yang bagus dan didukung pelatihan, motivasi dan pembinaan budaya. Sedangkan di bagian akhir, bidang keuangan berfungsi sebagai penyedia sumber dana, pengawasan dan manajemen informasi. Bila Willy aktif menghembuskan angin perubahan di lingkungan perusahaan maka di sisi lain Danone pun ternyata juga berubah. Danone berubah dari perusahaan publik yang semula masih masih dikelola sebagaimana perusahan keluarga makin lama menjadi besar sehingga akhirnya menjadi perusahaan multinasional yang mengandalkan profesionalisme dalam manajemen. Hal itu terjadi karena orang-orang lama di Danone yang semula menduduki posisi manajemen senior satu per satu sudah memasuki masa pensiun atau meninggalkan perusahaan sehingga banyak orang-orang baru yang masuk. Hal itu memicu terjadinya perubahan budaya perusahaan. Kondisi tersebut ikut berpengaruh pada anak perusahaannya termasuk AQUA di Indonesia.
Pada tahun 2000, AQUA bermaksud melakukan ekspansi yang kebutuhan dananya mencapai sekitar Rp 500 miliar. Menurut keterangan John Abdi, TIV selaku holding company kemudian menanyakan kepada pihak keluarga Tirto Utomo apakah akan ikut berpartisipasi dalam kegiatan tersebut. Ternyata pihak keluarga memutuskan untuk tidak ikut sehingga akhirnya disepakati pihak Danone yang membiayai ekspansi tersebut dengan imbalan saham. Kepemilikan Danone pun meningkat dari 40 persen menjadi 74 persen melalui perusahaan holding PT Tirta Investama. Sementara saham pihak keluarga AQUA mengalami delusi sehingga tinggal 23 persen saja. Sejak itu terjadilah perubahan manajemen besar di AQUA karena Danone yang juga produsen AMDK dunia dengan merek Evian, Volvic dan Ferarelie akhirnya tampil sebagai pemegang saham mayoritas.
Bagi Willy akuisisi AQUA oleh Danone merupakan hal wajar. Ia menyadari, kinerja saham AQUA tidak lagi likuid di lantai bursa. Volume transaksi rata-rata harian AQUA anjlok dari sekitar 1,5 juta lembar saham dengan sekitar 320 kali transaksi pada 1998, menjadi hanya sekitar 50.000 lembar saham, atau 52 transaksi pada periode Januari - Juli 2001. AQUA, agaknya, merupakan salah contoh perusahaan lokal yang mayoritas sahamnya dibeli asing. Willy pun tak merasa kehilangan orientasi dengan pergeseran manajemen di tubuh perusahaannya. Tentu saja ada yang berubah. Sehari-hari Willy Sidharta memang masih Presiden Direktur PT AQUA Golden Mississippi, Tbk (AGM) dan VP Industri PT Tirta Investama (TIV) tetapi ia bukan lagi pengambil keputusan tertinggi di AQUA. Willy tidak bisa lagi seenaknya melakukan kegiatan resmi yang terkait dengan bisnis AMDK tanpa seizin pihak Danone.
c. Perusahaan Konsolidasi:
Industri media televisi nasional kini mengalami perkembangan pesat, baik dari segi ternologi maupun bisnis. Selain makin banyak stasiun TV yang secara bertahap mulai menerapkan teknologi digital dalam operasionalnya, industri media TV juga ditandai dengan proses konsolidasi dan pengelompokan stasiun-stasiun TV.
Setidaknya saat ini sudah terbentuk tiga kelompok besar. Kelompok pertama, yang dikomandani Hary Tanoesoedibjo, dengan payung PT. Media Nusantara Citra (PT. Bimantara Citra, Tbk), membawahi: RCTI (PT. Rajawali Citra Televisi Indonesia), TPI (PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia) dan Global TV (PT. Global Informasi Bermutu). Kelompok kedua, yang dikomandani Anindya N. Bakrie, dengan payung PT. Bakrie Brothers (Grup Bakrie), membawahi: ANTV (PT. Cakrawala Andalas Televisi) dan Lativi (PT. Lativi Media Karya). Kelompok ketiga, yang dikomandani Chairul Tanjung, dengan payung PT. Trans Corpora (Grup Para), membawahi: Trans TV (PT. Televisi Transformasi Indonesia) dan Trans-7 (PT. Duta Visual Nusantara Tivi Tujuh, semula dikenal sebagai TV7). Jadi, tinggal SCTV, Metro TV, dan Indosiar, tiga televisi swasta yang belum jelas mau masuk kelompok yang mana. Mungkin mereka masih mencoba bertahan dan lebih suka berdiri sendiri. Namun, dalam kondisi persaingan yang sangat ketat ini, serta keterbatasan kue iklan yang harus dibagi untuk seluruh stasiun TV, jelas lebih banyak keuntungan yang bisa diraih suatu stasiun TV, jika bergabung dalam kelompok.
Pertama, pengelompokan ini jelas akan didukung oleh para biro iklan, karena biro-biro iklan ini tidak perlu lagi repot berurusan dengan satu-persatu stasiun TV, dalam membuat perencanaan periklanan. Sebuah kelompok stasiun TV dengan segmen audience dan jangkauan siaran yang berbeda-beda, akan bisa merangkum segmen penonton yang sangat luas dan beragam, baik dilihat dari segi demografi, psikografi, maupun tingkat status sosial-ekonominya. Dengan demikian, mereka akan bisa menawarkan paket penayangan iklan yang menarik dan lengkap kepada para pemasang iklan. Misalnya, segmen penonton dominan untuk Trans TV adalah female (perempuan), dengan status sosial-ekonomi A dan B (kelas atas). Sedangkan segmen penonton yang dominan di Trans-7 adalah male (laki-laki) dengan status sosial-ekonomi A, B, dan C (menengah ke atas). Maka, kepada biro-biro iklan, bagian sales dan marketing dari bisa menawarkan slot (bagian dari skedul siaran dengan durasi tertentu, yang bisa diisi iklan) bagi iklan produk-produk untuk konsumen perempuan di Trans TV. Namun, jika produk yang mau dipasarkan bukan cuma untuk perempuan, tetapi juga untuk konsumen laki-laki, iklan itu akan diarahkan untuk ditayangkan di Trans-TV.
Kedua, dengan membentuk kelompok, media TV akan mampu melakukan efisiensi, optimalisasi sumberdaya, dan penghematan biaya modal dan operasional, yang sangat krusial artinya di tengah persaingan antar stasiun TV yang ketat saat ini. Kemitraan strategis antara Trans TV dan Trans-7, misalnya, memungkinkan penghematan dalam biaya rekrutmen, penggunaan kontributor dan koresponden di daerah, pemanfaatan program-program yang sudah diakuisisi, serta efisiensi dan optimalisasi penggunaan studio, fasilitas, dan alat-alat siaran lain. Tukar-menukar program antar stasiun-stasiun TV yang sudah berkelompok dalam suatu kemitraan strategis juga memungkinkan maksimalisasi profit. Misalnya, sesudah bergabung, film-film produksi Amerika yang sebelumnya sudah diakuisisi oleh Trans-7 banyak ditayangkan di Trans-TV, karena terbukti bisa mendatangkan pemasukan iklan lebih besar dibandingkan jika dipaksakan tayang di Trans-7. Sebagai contoh, sebuah film yang ditayangkan di Trans-7 “hanya” menghasilkan pendapatan iklan Rp 70 juta. Tetapi, film yang sama, jika ditayangkan di Trans TV, bisa menghasilkan iklan senilai Rp 400 juta. Sebaliknya, sejumlah program yang pernah tayang di Trans-TV juga ditayangkan ulang di Trans-7, karena keterbatasan sumberdaya manusia di Trans-7 untuk memproduksi sendiri program-program berkualitas semacam itu.
Ketiga, dengan membentuk kelompok yang kompak, kelompok industri TV akan memiliki bargaining position yang lebih baik dibandingkan stasiun TV yang berdiri sendiri, dalam berhadapan dan bernegosiasi dengan rumah-rumah produksi atau PH (production house). Sebelum ini, PH yang memproduksi sinetron-sinetron lokal, misalnya, bisa memiliki posisi tawar yang tinggi karena mereka bisa “mengadu domba” satu stasiun TV dengan stasiun TV yang lain. Akibatnya, PH bisa menjual produk-produknya dengan harga sangat mahal. Namun, dengan terkonsolidasinya stasiun-stasiun TV dalam grup/kelompok, para pengelola TV kini malah bisa menekan PH untuk memberi harga yang lebih proporsional bagi produk-produknya. Malah sejumlah stasiun TV kini menggenjot produk-produk buatannya sendiri (in-house production), untuk mengurangi ketergantungan pada PH, dan pada saat yang sama menekan biaya akuisisi. Salah satu contoh yang paling berhasil adalah Trans TV, yang pada tahun 2006, sudah 80% tayangannya merupakan buatan sendiri.
IV. Kesimpulan
Dari berbagai analisa para ekonom dapat disimpulkan, bahwa salah satu strategi untuk menjadi perusahaan yang besar dan mampu bersaing adalah melalui ekspansi baik dalam bentuk ekspansi internal maupun ekspansi eksternal. Ekspansi internal terjadi pada saat divisi-divisi yang ada dalam perusahaan tumbuh secara normal melalui kegiatan capital budgeting sedangkan ekspansi eksternal dapat dilakukan dalam bentuk penggabungan usaha (business combination). Penggabungan usaha dalam akuntansi ada tiga bentuk yaitu: konsolidasi, merger,akuisisi.
Merger, konsolidasi, akuisisi adalah hal yang sangat umum dilakukan agar perusahaan dapat memenangkan persaingan, serta terus tumbuh dan berkembang. Pada umumnya tujuan dilakukannya merger dan akuisisi adalah mendapatkan sinergi atau nilai tambah. Keputusan untuk merger dan akuisisi bukan sekedar menjadikan dua tambah dua sama dengan empat, tetapi merger dan akuisisi harus menjadikan dua tambah dua sama dengan lima. Nilai tambah yang dimaksud adalah lebih bersifat jangka panjang dibanding nilai tambah yang bersifat sementara saja. Oleh karena itu, ada tidaknya sinergi suatu merger dan akuisisi tidak bisa dilihat sesaat setelah merger dan akuisisi itu terjadi, tetapi diperlukan waktu yang cukup panjang. Sinergi yang terjadi sebagai akibat dari penggabungan usaha bisa berupa turun naiknya skala ekonomis, maupun sinergi keuangan yang berupa kenaikan modal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar